Keputusan Amerika Serikat untuk menerapkan kebijakan tarif resiprokal mulai 2 April 2025 menandai babak baru dalam ketegangan perdagangan internasional. Presiden Donald Trump mengumumkan bahwa AS akan menyamakan tarif impornya dengan bea masuk yang dikenakan oleh negara-negara mitra dagangnya, sebagai bagian dari strategi untuk melindungi industri dalam negeri dan mengurangi defisit perdagangan yang telah menjadi salah satu fokus utama kebijakan ekonominya. Keputusan ini diperkirakan akan berdampak luas bagi berbagai negara yang memiliki hubungan dagang erat dengan AS, termasuk Indonesia, yang selama ini menjadikan Amerika sebagai salah satu pasar utama bagi produk ekspor unggulannya.
Ekonom Bank Danamon Indonesia, Hosianna Evalita Situmorang, mengingatkan bahwa kebijakan tarif resiprokal AS dapat memberikan tekanan besar bagi perekonomian Indonesia, terutama pada sektor ekspor yang selama ini sangat bergantung pada permintaan dari AS. Industri pertambangan dan kehutanan, yang selama ini menjadi kontributor utama dalam ekspor ke AS, berisiko mengalami penurunan permintaan akibat kenaikan tarif impor yang diberlakukan oleh pemerintah AS. Jika produk-produk seperti tembaga dan kayu menjadi lebih mahal di pasar Amerika, maka daya saingnya akan melemah dibandingkan dengan produk dari negara lain yang tarif impornya lebih rendah.
Selain sektor pertambangan dan kehutanan, industri lain seperti otomotif, manufaktur, dan pertanian juga berpotensi mengalami dampak negatif dari kebijakan ini. Banyak perusahaan yang selama ini mengandalkan pasar AS harus mulai mencari strategi baru untuk mempertahankan volume ekspor mereka. Peningkatan bea masuk dapat menyebabkan harga barang produksi Indonesia menjadi kurang kompetitif di pasar global, sehingga memaksa eksportir untuk melakukan penyesuaian harga atau mencari pasar alternatif yang lebih stabil.
Dampak lain yang perlu diwaspadai adalah meningkatnya volatilitas dalam nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Ketidakpastian dalam kebijakan perdagangan global sering kali berdampak pada pergerakan mata uang, dan jika rupiah mengalami tekanan akibat kebijakan ini, maka biaya impor bahan baku dan barang modal akan meningkat. Hal ini dapat menghambat pertumbuhan ekonomi domestik, terutama bagi industri yang bergantung pada bahan baku impor untuk proses produksi mereka.
Menghadapi tantangan ini, pemerintah Indonesia perlu segera mengambil langkah strategis untuk memitigasi dampak negatifnya. Salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah diversifikasi pasar ekspor dengan menjalin kerja sama perdagangan dengan negara-negara baru di luar AS. Kawasan Asia, Eropa, dan Timur Tengah menawarkan peluang besar bagi ekspor Indonesia, dan dengan memperluas jangkauan perdagangan, risiko dari kebijakan proteksionisme AS dapat dikurangi.
Selain mencari pasar alternatif, Indonesia juga perlu memperkuat posisinya dalam rantai pasok global dengan meningkatkan investasi di sektor industri pengolahan. Dengan menarik lebih banyak investasi asing langsung (FDI), Indonesia dapat meningkatkan kapasitas manufaktur dan mendorong hilirisasi industri agar produk yang diekspor memiliki nilai tambah lebih tinggi. Langkah ini akan membuat produk ekspor Indonesia lebih kompetitif dan mengurangi ketergantungan pada ekspor bahan mentah, yang selama ini menjadi salah satu kelemahan utama dalam struktur perdagangan Indonesia.
Hilirisasi industri harus menjadi prioritas dalam strategi ekonomi nasional agar Indonesia dapat menghadapi tantangan perdagangan global dengan lebih kuat. Dengan meningkatkan nilai tambah produk sebelum diekspor, Indonesia tidak hanya dapat mempertahankan pangsa pasarnya di AS tetapi juga meningkatkan daya saingnya di pasar internasional. Pemerintah, pelaku usaha, dan pemangku kepentingan lainnya harus bekerja sama untuk memastikan bahwa kebijakan yang diambil mampu memberikan perlindungan bagi sektor ekspor dan memastikan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di tengah ketidakpastian global.