JAKARTA – Indonesia telah lama dikenal sebagai negara dengan cadangan nikel terbesar di dunia, sebuah keunggulan yang seharusnya menempatkan negara ini di garis depan industri baterai kendaraan listrik (EV). Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa China tetap menjadi pemimpin utama dalam industri baterai lithium-ion (Li-ion), meninggalkan Indonesia jauh di belakang meskipun memiliki sumber daya yang sangat melimpah.
Menurut data terbaru dari US Geological Survey (USGS) yang dirilis pada Januari 2025, cadangan nikel Indonesia mencapai 55 juta ton logam nikel, menjadikannya negara dengan cadangan terbesar di dunia. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan Australia yang berada di peringkat kedua dengan cadangan sebesar 24 juta ton, serta China yang hanya memiliki 4,4 juta ton. Selain itu, Indonesia juga mendominasi produksi global dengan menyumbang hampir 50% dari total produksi nikel dunia, yang diperkirakan mencapai 2,2 juta ton pada 2024.
Namun, meskipun memiliki sumber daya alam yang sangat besar, kapasitas Indonesia dalam industri baterai masih jauh tertinggal. Data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengungkapkan bahwa kapasitas produksi baterai kendaraan listrik di Indonesia hanya mencapai sekitar 10 Gigawatt hours (GWh), angka yang masih jauh dibandingkan dengan China yang mendominasi lebih dari 53% pasar baterai Li-ion global. Laporan dari China Automotive Battery Innovation Alliance (CABIA) menunjukkan bahwa total instalasi baterai global pada tahun 2024 mencapai 785,6 GWh, dengan China menyumbang hampir 70% atau setara dengan 548,4 GWh, meningkat 41,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Keunggulan China dalam industri baterai tidak hanya didasarkan pada kapasitas produksi yang sangat besar, tetapi juga strategi agresif dalam menguasai rantai pasokan bahan baku. Perusahaan-perusahaan China seperti Contemporary Amperex Technology Co. (CATL) dan Tianqi Lithium telah mengamankan kepemilikan tambang litium di berbagai belahan dunia, termasuk di kawasan Amerika Latin yang dikenal sebagai “Segitiga Litium” (Argentina, Chili, dan Bolivia). Selain itu, Tsingshan Holding Group, salah satu raksasa metalurgi China, mengelola konsorsium nikel terbesar di dunia yang berlokasi di Indonesia, memastikan bahwa bahan baku yang diproduksi di Indonesia tetap berada dalam kendali perusahaan-perusahaan China.
Investasi besar-besaran juga dilakukan oleh perusahaan global yang memilih China sebagai pusat produksi baterai. Tesla, misalnya, membangun Gigafactory di Shanghai, sementara Volkswagen memiliki saham di produsen baterai Guoxuan High-Tech Co. dan JAC Motors. Pemerintah China telah berhasil menarik minat perusahaan-perusahaan besar melalui kebijakan insentif yang agresif, termasuk subsidi kendaraan listrik, insentif pajak, serta pembatasan ketat terhadap investasi asing yang ingin masuk ke industri ini tanpa kemitraan dengan perusahaan lokal.
Dominasi China dalam industri baterai juga didorong oleh integrasi vertikal yang mencakup seluruh rantai pasokan kendaraan listrik, mulai dari eksplorasi tambang, pemurnian bahan baku, produksi sel baterai, hingga manufaktur kendaraan listrik itu sendiri. Enam dari sepuluh produsen baterai terbesar di dunia saat ini berbasis di China, termasuk CATL yang memimpin dengan pangsa pasar lebih dari 37,9% pada 2024.
Di tengah persaingan global yang semakin ketat, Indonesia perlu menghadapi berbagai tantangan dalam upaya membangun industri baterai yang kompetitif. Salah satu hambatan utama adalah minimnya infrastruktur pengolahan bahan baku dalam negeri, yang menyebabkan sebagian besar nikel yang ditambang di Indonesia diekspor dalam bentuk mentah atau setengah jadi ke China dan negara lainnya. Model bisnis ini membuat Indonesia tetap berada dalam posisi sebagai penyedia bahan baku, sementara nilai tambah terbesar dalam industri baterai tetap dikuasai oleh China.
Regulasi dan kebijakan industri di Indonesia juga masih belum cukup mendukung percepatan pertumbuhan industri baterai dalam negeri. Meskipun pemerintah telah mengupayakan hilirisasi dengan membangun ekosistem industri baterai di Morowali dan Weda Bay, masih terdapat tantangan besar dalam menarik investasi yang benar-benar dapat menciptakan nilai tambah di dalam negeri. Selain itu, transfer teknologi dari perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Indonesia masih terbatas, membuat ketergantungan terhadap teknologi asing tetap tinggi.
Dalam jangka panjang, jika Indonesia ingin bersaing dalam industri baterai global, strategi yang lebih agresif harus diterapkan, termasuk peningkatan investasi dalam teknologi pemurnian nikel, kebijakan hilirisasi yang lebih ketat, serta kemitraan strategis dengan perusahaan global yang bersedia melakukan transfer teknologi. Tanpa langkah konkret, Indonesia berisiko terus tertinggal dan hanya menjadi penyedia bahan baku bagi negara lain, sementara industri baterai dunia tetap berada dalam genggaman China.