Pemerintah Indonesia menghadapi kritik tajam atas kurangnya perhatian dalam menjaga daya beli masyarakat kelas menengah, sebuah kelompok yang secara tradisional menjadi motor penggerak ekonomi nasional. Penilaian ini disampaikan oleh Mohammad Faisal, Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), yang menyoroti kurangnya langkah-langkah konkret dari pemerintah dalam menjaga stabilitas biaya hidup, menciptakan lapangan kerja, dan memastikan kualitas pekerjaan yang memadai.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) memperlihatkan penurunan drastis dalam jumlah masyarakat kelas menengah. Pada tahun 2021, kelompok ini berjumlah 53,83 juta orang, namun mengalami penurunan sebesar 5,98 juta menjadi hanya 47,85 juta jiwa. Angka ini mencerminkan adanya penurunan yang signifikan dalam kekuatan ekonomi kelompok tersebut.
“Penurunan ini mengindikasikan kurangnya perhatian pemerintah untuk menjaga daya beli kelas menengah,” ujar Faisal. Ia menambahkan bahwa pemerintah seharusnya lebih serius dalam mengendalikan inflasi, terutama harga bahan pokok dan barang-barang esensial lainnya yang terus melonjak setiap tahunnya. Kenaikan harga ini, menurutnya, telah menggerus pengeluaran masyarakat kelas menengah, sehingga daya beli mereka semakin menurun.
Tidak adanya bantuan sosial yang memadai dari pemerintah juga disebut sebagai faktor yang memperburuk kondisi ini. Bantalan ekonomi yang seharusnya diberikan untuk menjaga kesejahteraan masyarakat kelas menengah justru tidak optimal, membuat mereka semakin rentan terhadap dampak inflasi. “Inflasi, terutama pada sektor pangan, sangat menguras dompet masyarakat,” imbuhnya.
Kritik juga diarahkan pada kegagalan pemerintah dalam menciptakan lapangan pekerjaan yang memadai dan produktif bagi masyarakat kelas menengah. Faisal menyoroti banyaknya masyarakat yang terpaksa beralih dari pekerjaan formal ke informal karena terbatasnya kesempatan kerja yang layak dan berkualitas. Hal ini dinilai sebagai salah satu penyebab utama penurunan daya beli kelas menengah.
“Pemerintah perlu mendorong penciptaan lapangan kerja formal yang lebih besar dengan memastikan kualitas pekerjaan, termasuk penyesuaian upah yang sesuai dengan kebutuhan hidup,” tambah Faisal.
Senada dengan Faisal, ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, juga menekankan pentingnya peran pemerintah dalam menjaga daya beli masyarakat kelas menengah. Menurutnya, salah satu strategi yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan subsidi terhadap barang-barang yang dikonsumsi oleh kelas menengah, seperti bahan bakar minyak (BBM), pendidikan, dan lainnya.
Nailul Huda juga mencatat bahwa pertumbuhan pendapatan kelas menengah mengalami perlambatan, hanya tumbuh sebesar 1,5% sementara kebutuhan hidup mereka meningkat tajam, terutama akibat kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN). Kondisi ini semakin menekan daya beli mereka yang sudah rentan.
Secara terpisah, Pelaksana Tugas (Plt) Kepala BPS, Amalia Adininggar Widyasanti, menegaskan adanya peralihan status pekerjaan kelas menengah dari sektor formal ke informal. Berdasarkan data BPS, pada tahun 2019, jumlah pekerja formal mencapai 61,71%, sementara pekerja informal sebesar 38,29%. Namun, dalam kurun waktu lima tahun, proporsi pekerja formal menurun menjadi 58,65% sedangkan pekerja informal meningkat menjadi 41,35% pada tahun 2024.
“Dalam lima tahun terakhir, proporsi pekerja kelas menengah yang berstatus formal mengalami penurunan dari 61% menjadi 58%. Mayoritas dari mereka bekerja di sektor jasa,” ungkap Amalia.
Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan ekonomi yang dihadapi kelas menengah semakin kompleks, dan membutuhkan intervensi pemerintah yang lebih komprehensif dan terarah untuk memastikan stabilitas ekonomi dan kesejahteraan mereka. Tanpa langkah-langkah yang tepat, penurunan daya beli masyarakat kelas menengah dapat berdampak luas terhadap perekonomian nasional.