Di tengah kondisi ekonomi yang menantang, pemerintah didorong untuk menarik investasi asing secara besar-besaran sebagai salah satu strategi utama untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Langkah ini dinilai penting guna memperkuat daya beli yang saat ini menunjukkan tren pelemahan, serta mendorong konsumsi rumah tangga yang menjadi salah satu pilar pertumbuhan ekonomi nasional.
Razali Ritonga, mantan Kepala Pusdiklat Badan Pusat Statistik (BPS), menekankan pentingnya keseimbangan antara investasi padat modal dan padat karya. Menurutnya, kedua jenis investasi ini memiliki peran yang saling melengkapi, di mana investasi padat modal dapat meningkatkan produktivitas dan inovasi teknologi, sedangkan investasi padat karya dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar. Ia juga menekankan pentingnya penyebaran investasi yang merata di seluruh wilayah Indonesia, agar tidak hanya terkonsentrasi di Pulau Jawa. “Keseimbangan investasi antara sektor padat modal dan padat karya serta pemerataan investasi dari Jawa ke luar Jawa sangat diperlukan,” ujar Razali dalam pernyataannya pada Rabu (6/11).
Selain mengandalkan aliran investasi, Razali juga menyoroti pentingnya dukungan pemerintah dalam bentuk kebijakan fiskal yang tepat, termasuk pemberian subsidi untuk masyarakat dengan tujuan menjaga daya beli. Kebijakan fiskal yang tepat sasaran diyakini akan memberikan dampak signifikan terhadap stabilitas daya beli masyarakat, yang hingga kini menjadi faktor kunci dalam mendukung pertumbuhan ekonomi. Dalam pandangannya, sinergi antara penarikan investasi dan kebijakan fiskal yang menyasar kebutuhan masyarakat luas dapat membentuk pondasi ekonomi yang lebih tangguh.
Data terbaru menunjukkan bahwa pelemahan daya beli masyarakat turut mempengaruhi perlambatan pertumbuhan ekonomi nasional. Pada triwulan III tahun 2024, pertumbuhan ekonomi tercatat sebesar 4,95%, lebih rendah dari triwulan I yang mencapai 5,11% dan triwulan II sebesar 5,05%. Perlambatan ini dipicu oleh menurunnya pertumbuhan konsumsi rumah tangga, yang masih menjadi kontributor terbesar bagi Produk Domestik Bruto (PDB) nasional.
Konsumsi rumah tangga, yang menyumbang sekitar 53,08% dari total PDB pada triwulan III 2024, mengalami pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan triwulan sebelumnya, yaitu hanya mencapai 4,91% dari 4,93% pada triwulan II. Angka ini mencerminkan bahwa pelemahan daya beli telah berdampak langsung terhadap kinerja ekonomi. Razali menilai bahwa kondisi ini mengindikasikan adanya penurunan pendapatan masyarakat, yang menyebabkan konsumsi tidak dapat bertumbuh seperti yang diharapkan.
Menurut Razali, konsumsi rumah tangga telah lama menjadi mesin utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun, saat ini pelemahan daya beli menjadi tantangan serius, apalagi terjadi di tengah inflasi yang masih berada di level rendah. “Kondisi ini menunjukkan kemungkinan adanya penurunan pendapatan masyarakat yang membuat daya beli semakin menurun,” jelasnya.
Melihat kondisi ini, pemerintah diharapkan dapat merumuskan kebijakan yang lebih efektif untuk mendongkrak daya beli. Investasi yang dapat menciptakan lapangan kerja dalam jumlah besar akan memainkan peran penting dalam memperkuat daya beli masyarakat. Selain itu, perbaikan di sisi pendapatan akan mendukung stabilitas ekonomi dan menciptakan fondasi yang lebih kuat bagi pertumbuhan di masa depan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia dapat meraih pertumbuhan ekonomi yang lebih berkelanjutan dan inklusif.