Jakarta, Indonesia — Pemerintah telah mengumumkan kebijakan strategis untuk meningkatkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menjelaskan, kebijakan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat penerimaan negara dan meningkatkan tax ratio, yang saat ini masih tertinggal dibandingkan negara-negara lain dengan tingkat ekonomi serupa.
Dalam konferensi pers yang berlangsung di Jakarta, Sri Mulyani memaparkan bahwa tarif PPN Indonesia sebesar 11% masih relatif rendah jika dibandingkan dengan banyak negara di dunia, terutama anggota G20. Ia mencontohkan Brasil, yang menetapkan tarif PPN sebesar 17%, Afrika Selatan 15%, dan India 18%. Bahkan Turki menetapkan tarif PPN hingga 20%, meskipun rasio pajak negara tersebut (16%) masih berada di bawah negara seperti Brasil dan Afrika Selatan.
Sri Mulyani juga menyoroti perbandingan dengan negara-negara Asia Tenggara, di mana tarif PPN Indonesia cenderung lebih tinggi. Vietnam, misalnya, memberikan insentif PPN sebesar 8% untuk mendorong daya beli, sementara Malaysia menetapkan PPN sebesar 10%. Meski begitu, Sri Mulyani menyatakan bahwa kenaikan tarif PPN menjadi 12% dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi ekonomi domestik yang stabil, terutama tingkat inflasi yang menurun hingga 1,5% serta daya beli masyarakat yang relatif terjaga.
Menurut Sri Mulyani, kenaikan tarif ini bukan hanya soal angka, melainkan strategi jangka panjang untuk memperkuat keuangan negara. Penerapan PPN 12% diharapkan dapat mendongkrak kontribusi pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), yang selama ini masih cukup rendah. Pemerintah juga tengah bekerja keras untuk meningkatkan tax ratio yang saat ini berada di kisaran 10,5% hingga 11%, jauh di bawah Brasil (24,67%), Filipina (15,6%), atau bahkan Meksiko (14,46%).
Meskipun kebijakan ini dipandang sebagai langkah strategis, Sri Mulyani tidak menutup mata terhadap kekhawatiran masyarakat. Ia menegaskan bahwa pemerintah akan menjalankan kebijakan ini dengan hati-hati, mengingat pentingnya menjaga stabilitas konsumsi rumah tangga yang menjadi penopang utama ekonomi nasional. Ia juga memastikan bahwa setiap langkah kebijakan akan selalu didasarkan pada analisis data ekonomi yang komprehensif.
Dalam kesempatan yang sama, Sri Mulyani menggarisbawahi bahwa kenaikan PPN bukanlah satu-satunya langkah pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara. Berbagai reformasi perpajakan terus dilakukan, termasuk perluasan basis pajak dan penegakan hukum untuk meminimalkan penghindaran pajak. Semua ini dilakukan untuk memastikan bahwa beban pajak tidak hanya bertumpu pada satu sektor masyarakat saja.
Sri Mulyani percaya bahwa dengan koordinasi yang solid antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, kebijakan ini dapat berjalan dengan baik tanpa mengorbankan daya beli masyarakat. Kenaikan PPN menjadi 12% diharapkan dapat membawa Indonesia menuju sistem perpajakan yang lebih adil dan berkelanjutan, sekaligus memperkuat fondasi ekonomi dalam menghadapi tantangan global yang semakin kompleks.