JAKARTA – Kepastian hukum dalam industri kelapa sawit kembali menjadi sorotan di tengah dinamika regulasi yang terus berkembang. Pemerintah didesak untuk segera memberikan kejelasan hukum bagi para pelaku industri yang telah memenuhi kewajibannya berdasarkan Pasal 110A Undang-Undang Cipta Kerja. Salah satu langkah konkret yang harus dilakukan adalah menerbitkan surat izin pelepasan kawasan hutan bagi perusahaan yang telah menyelesaikan persyaratan administratifnya. Selain itu, percepatan proses perizinan Hak Guna Usaha (HGU) juga menjadi hal mendesak agar sektor sawit tetap berkontribusi optimal terhadap perekonomian nasional.
Eugenia Mardanugraha, peneliti dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), menekankan pentingnya kepastian hukum bagi industri sawit demi menjaga stabilitas iklim investasi di Indonesia. Menurutnya, sektor sawit merupakan tulang punggung ekonomi nasional yang memberikan kontribusi signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) serta penerimaan negara. Ketidakpastian hukum, kata Eugenia, hanya akan menciptakan kekhawatiran di kalangan investor dan memperlambat pertumbuhan industri.
Polemik yang muncul terkait keberadaan Peraturan Presiden (Perpres) No. 5 Tahun 2025 tentang Penertiban Kawasan Hutan juga memunculkan kebingungan di kalangan pelaku usaha. Eugenia menegaskan bahwa keberadaan peraturan tersebut tidak dapat menggugurkan Undang-Undang Cipta Kerja, karena dalam hierarki hukum, undang-undang memiliki kedudukan yang lebih tinggi dibanding peraturan presiden. Oleh karena itu, perusahaan yang telah memenuhi kewajibannya sesuai Pasal 110A harus tetap diberikan hak untuk memperoleh izin pelepasan kawasan hutan. Dalam ketentuan yang sama, Pasal 110B juga memberikan ruang bagi kebun sawit yang telah lama berdiri di dalam kawasan hutan sebelum regulasi ini berlaku, dengan syarat perusahaan terkait memenuhi persyaratan administratif dan membayar sanksi denda administratif jika terdapat pelanggaran.
Proses perizinan HGU untuk lahan sawit yang telah berstatus legal dinilai masih berbelit dan memakan waktu yang lama. Eugenia menyoroti urgensi penyederhanaan prosedur perizinan agar perusahaan tidak terus-menerus terhambat oleh birokrasi yang kompleks. Kawasan hutan yang telah beralih fungsi menjadi perkebunan sawit seharusnya mendapatkan kepastian hukum agar proses produksi tidak terganggu. Sebaliknya, ia sepakat bahwa untuk pembukaan lahan sawit baru, regulasi yang lebih ketat perlu diterapkan guna menjaga keseimbangan antara ekspansi industri dan keberlanjutan lingkungan.
Jika izin HGU tidak segera diterbitkan atau lahan sawit yang telah beroperasi secara legal ditutup, dikhawatirkan akan terjadi dampak besar terhadap produksi kelapa sawit nasional. Data Kementerian Keuangan menunjukkan bahwa kapasitas produksi industri kelapa sawit pada tahun 2023 mencapai Rp729 triliun. Kontribusi sektor ini terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2023 pun sangat besar, yakni mencapai Rp88 triliun yang berasal dari penerimaan pajak sebesar Rp50,2 triliun, Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) Rp32,4 triliun, dan Bea Keluar Rp6,1 triliun. Jika kebijakan yang diambil tidak memperhitungkan stabilitas industri, maka akan ada dampak negatif terhadap perekonomian secara luas.
Saat ini, industri sawit di Indonesia melibatkan sekitar 2,4 juta petani swadaya dan menyerap hingga 16 juta tenaga kerja. Oleh sebab itu, regulasi yang mengatur sektor ini harus bersifat seragam dan tidak menimbulkan ketimpangan antarwilayah. Eugenia menekankan bahwa pemerintah pusat harus memastikan keseragaman kebijakan agar tidak terjadi perbedaan regulasi di tiap provinsi, yang berpotensi menciptakan ketidakpastian hukum dan menghambat investasi.
Upaya penertiban lahan sawit yang berada di dalam kawasan hutan memang diperlukan untuk menegakkan hukum dan menjaga tata kelola lingkungan yang berkelanjutan. Namun, Eugenia menegaskan bahwa penertiban ini harus dilakukan dengan mempertimbangkan aspek keberlanjutan ekonomi dari kebun sawit yang sudah beroperasi. Ia menyoroti kasus di Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah, di mana ribuan hektare lahan sawit disita dan disegel oleh Tim Satgas Garuda Penertiban Kawasan Hutan karena dianggap ilegal. Dalam kasus seperti ini, pemerintah diharapkan tidak hanya menyita dan menyegel lahan, tetapi juga memastikan kelangsungan kegiatan ekonomi di wilayah tersebut. Jika kebun sawit yang telah disita dibiarkan begitu saja tanpa pengelolaan yang jelas, risiko penjarahan dan kerugian ekonomi yang lebih besar bisa terjadi.
Lebih jauh, Eugenia mengingatkan bahwa pengambilalihan lahan sawit yang dilakukan pemerintah harus diikuti dengan pengelolaan yang profesional. Ia menegaskan bahwa tidak semua perusahaan memiliki kompetensi dalam mengelola bisnis sawit, sehingga perlu ada seleksi ketat dalam penunjukan perusahaan pengelola lahan sitaan negara. Industri kelapa sawit memiliki sistem bisnis yang kompleks, mulai dari pengelolaan kebun hingga pengolahan hasil produksi di pabrik. Oleh karena itu, jika aset yang disita tidak dikelola secara profesional, bukan hanya produktivitas yang akan menurun, tetapi juga ribuan tenaga kerja yang bergantung pada sektor ini berisiko kehilangan mata pencaharian.
Dalam penetapan kebijakan, Eugenia juga menyoroti pentingnya implementasi Perpres No. 5 Tahun 2025 yang harus didukung oleh kejelasan data dan pemetaan yang akurat. Ia mengusulkan agar pemerintah segera menyusun satu peta nasional yang berisi hasil penetapan kawasan hutan yang telah dikukuhkan secara legal. Konsep “satu peta” ini sebenarnya telah lama diusulkan oleh berbagai pakar, namun hingga kini belum terealisasi dengan baik. Dengan adanya satu peta yang valid dan dapat dipertanggungjawabkan, kebijakan terkait penertiban lahan sawit di kawasan hutan dapat berjalan lebih transparan dan adil.
Sebagai informasi, Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni baru-baru ini menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan No. 36 Tahun 2025 yang mencantumkan 436 perusahaan yang lahannya dinyatakan berada dalam kawasan hutan. Daftar perusahaan ini menjadi dasar kerja bagi Satuan Tugas Penertiban Kawasan Hutan yang dibentuk berdasarkan Perpres No. 5 Tahun 2025. Tim Satgas ini diketuai oleh Menteri Pertahanan dan memiliki kewenangan dalam menertibkan lahan sawit yang dianggap ilegal.
Dengan adanya perdebatan ini, pemerintah diharapkan dapat mengambil langkah yang seimbang antara penegakan hukum, keberlanjutan lingkungan, serta kepentingan ekonomi nasional. Industri sawit telah menjadi bagian penting dalam perekonomian Indonesia, dan kebijakan yang diambil harus mampu memberikan kepastian bagi para pelaku usaha sekaligus menjaga keseimbangan ekosistem secara berkelanjutan.