Pelaku Pasar Semakin Pesimistis, IHSG Tertekan oleh Sentimen Global dan Domestik

Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menghadapi tekanan berat sepanjang Maret 2025, seiring dengan meningkatnya pesimisme di kalangan pelaku pasar. Ketua Asosiasi Analis Efek Indonesia (AAEI), David Sutyanto, mengungkapkan bahwa ekspektasi terhadap pergerakan indeks semakin negatif, sebagaimana tercermin dalam laporan Indeks Analisis Sensitivitas Modal (CSA Index) edisi Maret 2025. Untuk pertama kalinya dalam sejarah, indeks tersebut turun di bawah level 50, tepatnya berada di angka 47,6. Angka ini mengindikasikan bahwa mayoritas investor mulai kehilangan keyakinan terhadap prospek pasar modal Indonesia dalam jangka pendek.

Menurut David, tren penurunan ini sejatinya sudah terlihat sejak Februari 2025, di mana IHSG melemah tajam hingga 11,8% dan merosot ke level 6.270. Kondisi tersebut menjadi alarm bagi pasar, mengingat tekanan yang terjadi tidak hanya berasal dari faktor internal, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika eksternal yang semakin kompleks.

Salah satu faktor utama yang menekan IHSG adalah pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang berlangsung secara berkelanjutan. Melemahnya mata uang domestik ini memperburuk kepercayaan investor, terutama bagi mereka yang memiliki eksposur terhadap saham-saham yang bergantung pada impor bahan baku. Selain itu, kebijakan ekonomi global yang cenderung agresif turut memperburuk situasi.

Di tingkat internasional, kebijakan yang diambil oleh pemerintahan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, menjadi salah satu pemicu utama ketidakpastian di pasar keuangan. Langkah-langkah proteksionis yang diterapkan AS, khususnya terkait dengan tarif perdagangan terhadap Tiongkok, memicu kekhawatiran investor terhadap potensi perang dagang yang lebih luas. Kondisi ini menciptakan volatilitas tinggi di pasar global dan berdampak langsung pada pergerakan IHSG.

Selain itu, lonjakan inflasi di AS yang melampaui ekspektasi semakin memperumit keadaan. Investor global mulai berspekulasi bahwa Federal Reserve (The Fed) akan mengambil kebijakan moneter yang lebih ketat, termasuk kemungkinan kenaikan suku bunga lebih agresif. Jika itu terjadi, arus modal berisiko tinggi yang selama ini mengalir ke negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, berpotensi mengalami pembalikan besar-besaran. Hal ini tentunya akan semakin menekan pasar modal domestik.

Di dalam negeri, tekanan terhadap IHSG juga berasal dari faktor-faktor ekonomi makro yang kurang menggembirakan. Kekhawatiran terhadap perlambatan pertumbuhan ekonomi semakin menguat, terutama karena daya beli masyarakat menunjukkan tanda-tanda pelemahan. Bahkan, pada Februari 2025, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadinya deflasi sebesar 0,09% secara tahunan (year-on-year/yoy). Deflasi ini mengindikasikan lemahnya permintaan domestik, yang berpotensi menekan kinerja emiten di berbagai sektor.

Selain itu, kebijakan pemangkasan anggaran oleh pemerintah turut menjadi perhatian utama. Berkurangnya belanja negara berpotensi menghambat pertumbuhan ekonomi, terutama dalam sektor-sektor yang bergantung pada proyek infrastruktur dan pengeluaran fiskal lainnya. Di sisi lain, maraknya pemberitaan mengenai pemutusan hubungan kerja (PHK) di berbagai industri semakin memperburuk sentimen pasar. Kondisi ini menimbulkan ketidakpastian mengenai prospek konsumsi rumah tangga, yang selama ini menjadi salah satu pendorong utama pertumbuhan ekonomi nasional.

Tekanan semakin kuat setelah lembaga keuangan global, Morgan Stanley, menurunkan peringkat saham Indonesia dalam indeks Morgan Stanley Capital International (MSCI). Penurunan peringkat ini menyebabkan aliran dana asing keluar dari pasar saham Indonesia, mengingat banyak investor institusional yang menjadikan MSCI sebagai acuan dalam menentukan alokasi portofolio mereka.

Di tengah ketidakpastian pasar, CSA Index mencatat perubahan signifikan dalam preferensi sektor investasi. Untuk pertama kalinya dalam beberapa tahun terakhir, sektor keuangan tidak lagi menjadi sektor unggulan bagi investor. Sebaliknya, sektor energi dan barang konsumen non-primer justru menjadi pilihan utama, menggeser dominasi sektor perbankan yang sebelumnya selalu menjadi favorit pelaku pasar. Pergeseran ini tidak lepas dari kinerja sektor keuangan yang mengalami tekanan berat sepanjang Februari 2025.

Anjloknya harga saham sejumlah bank besar serta meningkatnya kekhawatiran terhadap risiko kredit menjadi alasan utama mengapa sektor keuangan mulai dihindari investor. Sebaliknya, sektor energi mendapatkan momentum positif, terutama di tengah kenaikan harga komoditas global yang mendorong optimisme terhadap kinerja emiten di sektor tersebut.

Di tengah situasi yang penuh tekanan ini, pelaku pasar mulai menyesuaikan ekspektasi mereka terhadap pergerakan IHSG dalam jangka menengah. Jika sebelumnya target IHSG dalam 12 bulan ke depan dipatok pada level 8.243, kini target tersebut diturunkan menjadi 7.125. Revisi ini mencerminkan kewaspadaan investor terhadap berbagai tantangan yang masih membayangi pasar modal Indonesia.

Meski demikian, ada sejumlah faktor yang berpotensi menjadi katalis positif bagi IHSG dalam beberapa bulan mendatang. Kebijakan moneter yang lebih akomodatif dari Bank Indonesia, termasuk potensi penyesuaian suku bunga untuk menjaga stabilitas pasar, diharapkan dapat memberikan sentimen positif. Selain itu, meningkatnya konsumsi masyarakat selama bulan Ramadan juga berpotensi mendorong aktivitas ekonomi, yang pada akhirnya bisa memberikan efek positif terhadap pergerakan indeks saham.

Namun, dengan masih kuatnya tekanan eksternal dan domestik, pelaku pasar dituntut untuk tetap waspada dalam mengambil keputusan investasi. Fluktuasi yang tinggi serta ketidakpastian global yang masih membayangi menjadi tantangan utama yang harus dihadapi dalam beberapa waktu ke depan.

Subscribe to My Newsletter

Subscribe to my weekly newsletter. I don’t send any spam email ever!