Rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah memicu diskusi panas di kalangan masyarakat dan para pakar ekonomi. Jika kebijakan ini benar-benar diterapkan, Indonesia akan bergabung dengan Filipina sebagai negara dengan tarif PPN tertinggi di kawasan ASEAN. Langkah ini mengundang perhatian khusus, mengingat mayoritas negara tetangga memberlakukan tarif yang jauh lebih rendah.
Saat ini, Filipina, di bawah kepemimpinan Presiden Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr., juga menetapkan tarif PPN sebesar 12%. Sementara itu, Vietnam dan Kamboja menetapkan tarif 10%, diikuti oleh Singapura dengan 9%. Negara maju seperti Thailand dan Laos hanya menetapkan tarif sebesar 7%, sedangkan Malaysia mengenakan tarif 6%. Myanmar, meskipun berada dalam situasi ekonomi yang sulit, memiliki tarif PPN 5%, dan Timor Leste bahkan lebih rendah lagi, hanya 2,5%.
Peningkatan PPN ini berpotensi memberikan dampak yang signifikan terhadap berbagai aspek ekonomi domestik. Laporan dari Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI) menggarisbawahi risiko besar yang akan ditanggung masyarakat, khususnya kelompok berpenghasilan rendah. Dalam analisis mereka, LPEM UI menyoroti bagaimana kebijakan ini dapat memperburuk tingkat kemiskinan dan memperlebar kesenjangan sosial. “Kenaikan PPN akan mendorong lebih banyak orang jatuh di bawah garis kemiskinan dan semakin membebani kelompok rentan,” demikian pernyataan dalam laporan tersebut.
Kenaikan PPN tidak hanya akan meningkatkan harga barang dan jasa, tetapi juga akan memicu inflasi yang lebih tinggi. Dalam situasi ini, rumah tangga berpenghasilan rendah diperkirakan akan mengalami tekanan yang lebih besar karena daya beli mereka berkurang. Dengan harga kebutuhan pokok yang semakin mahal, konsumsi masyarakat pun cenderung menurun. Penurunan ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup individu tetapi juga pada perekonomian secara keseluruhan, mengingat konsumsi rumah tangga merupakan salah satu pilar utama pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Distribusi dampak kenaikan tarif ini menunjukkan ketimpangan yang signifikan. Menurut LPEM UI, kelompok rumah tangga termiskin, yang mencakup 20% lapisan bawah, akan merasakan kenaikan beban hingga 0,86% poin. Sebaliknya, kelompok 20% terkaya “hanya” mengalami kenaikan beban sebesar 0,71% poin. Ketimpangan ini semakin terlihat jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Ketika tarif PPN naik dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, beban pajak untuk kelompok rumah tangga termiskin meningkat sebesar 0,71% poin, sementara untuk kelompok terkaya kenaikannya hanya 0,55% poin.
Dampak dari kebijakan ini bersifat regresif, artinya lebih memberatkan masyarakat dengan pendapatan rendah dibandingkan kelompok yang lebih sejahtera. Laporan tersebut menyoroti bahwa rumah tangga dalam persentil ke-20 hingga ke-22, yang berada tepat di atas garis kemiskinan, akan menanggung beban terberat. Beban mereka diperkirakan meningkat sebesar 0,91% poin, mencerminkan ketidakadilan yang signifikan dalam distribusi beban pajak.
Jika dibandingkan dengan periode sebelum pandemi COVID-19 ketika tarif PPN masih sebesar 10%, peningkatan beban untuk kelompok masyarakat termiskin di era tarif 11% sudah terasa. Beban meningkat sebesar 0,84% poin untuk kelompok termiskin, 0,87% poin untuk kelompok rentan, dan 0,61% poin untuk kelas menengah. Di sisi lain, kelompok berpenghasilan tinggi hanya mengalami kenaikan sebesar 0,62% poin. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa kebijakan PPN cenderung memberikan tekanan yang lebih besar pada kelompok berpendapatan rendah, yang sebagian besar dari pengeluaran mereka digunakan untuk kebutuhan dasar.
Selain itu, peningkatan tarif PPN menjadi 12% dapat berdampak buruk pada daya beli masyarakat secara keseluruhan. Dengan harga barang dan jasa yang terus naik, rumah tangga miskin mungkin harus memangkas pengeluaran untuk kebutuhan yang dianggap “tidak esensial,” bahkan jika kebutuhan tersebut sebenarnya penting untuk kesejahteraan mereka. Akibatnya, penurunan konsumsi ini berpotensi menurunkan pertumbuhan ekonomi nasional, terutama karena konsumsi rumah tangga merupakan kontribusi signifikan terhadap produk domestik bruto (PDB).
Dalam konteks ASEAN, kenaikan tarif PPN ini juga menimbulkan pertanyaan strategis. Apakah langkah ini akan menjadikan Indonesia lebih kompetitif secara fiskal dibandingkan negara-negara tetangga? Dengan tarif yang jauh lebih rendah, negara-negara seperti Singapura, Thailand, dan Malaysia memiliki keunggulan dalam menarik investasi asing dan memacu konsumsi domestik. Sementara itu, tarif tinggi di Indonesia dapat menciptakan tantangan tambahan bagi pelaku bisnis yang berusaha menavigasi tekanan biaya dan daya beli konsumen yang menurun.
Meskipun kenaikan PPN bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara, kebijakan ini harus dilihat dalam konteks yang lebih luas. Dengan beban ekonomi yang semakin berat, pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan mitigasi untuk melindungi kelompok rentan. Dalam menghadapi perubahan ini, pertanyaan yang lebih besar adalah bagaimana memastikan kebijakan fiskal yang adil dan berkelanjutan, tanpa mengorbankan kesejahteraan masyarakat luas.