Tekanan Biaya Bahan Baku: Tantangan Utama Industri Manufaktur Indonesia

Indeks Purchasing Managers’ Index (PMI) manufaktur Indonesia menunjukkan tren positif pada Desember 2024, memberikan sinyal optimisme terhadap pemulihan sektor ini. Namun, di balik angka-angka tersebut, industri manufaktur masih menghadapi tantangan signifikan, terutama dari kenaikan biaya bahan baku yang terus menekan kemampuan perusahaan untuk berkembang.

Yusuf Rendy Manilet, peneliti dari Center of Reform on Economic (CoRE) Indonesia, mengungkapkan bahwa tekanan kenaikan harga bahan baku telah menjadi momok utama bagi industri manufaktur selama beberapa bulan terakhir. Dalam wawancara yang dilakukan pada Jumat (3/1), Yusuf menjelaskan bahwa lonjakan harga bahan baku, yang sudah mulai terasa sejak November, masih menjadi kendala besar bagi perusahaan hingga akhir tahun.

Menurut Yusuf, meski data menunjukkan adanya peningkatan pada produksi dan permintaan baru, lonjakan biaya operasional membatasi kemampuan perusahaan untuk meningkatkan output secara signifikan. Biaya yang terus meningkat ini menjadi penghambat utama, terutama bagi perusahaan kecil dan menengah yang memiliki margin keuntungan lebih tipis dibandingkan perusahaan besar.

Selain masalah biaya bahan baku, ketatnya persaingan di pasar domestik dan global turut memperburuk situasi. Dalam konteks persaingan global, daya saing manufaktur Indonesia masih perlu ditingkatkan untuk dapat bertahan dan berkembang di tengah ekosistem yang semakin kompetitif. Yusuf menekankan bahwa daya saing industri manufaktur tidak hanya bergantung pada efisiensi biaya produksi, tetapi juga pada akses terhadap bahan baku berkualitas dengan harga terjangkau serta kemampuan produk untuk memenuhi standar pasar ekspor.

Tantangan lain yang dihadapi industri manufaktur adalah masalah ketenagakerjaan. Meski ada peningkatan indeks ketenagakerjaan untuk pertama kalinya dalam tiga bulan terakhir, Yusuf mencatat bahwa pertumbuhan ini masih terlalu kecil untuk menciptakan dampak signifikan terhadap pemulihan sektor. “Peningkatan lapangan kerja yang terjadi belum cukup untuk menopang pertumbuhan manufaktur secara berkelanjutan. Diperlukan langkah strategis untuk mendorong penciptaan lapangan kerja yang lebih masif,” ujarnya.

Di sisi lain, Yusuf mengapresiasi langkah pemerintah dalam menjaga prospek positif industri manufaktur. Namun, ia menekankan bahwa diperlukan kebijakan yang lebih komprehensif untuk mengatasi berbagai kendala yang ada. Dari sisi suplai, ia merekomendasikan pemerintah untuk memperkuat daya saing melalui insentif investasi yang diarahkan pada pengembangan teknologi, efisiensi produksi, dan inovasi produk. Hal ini, menurut Yusuf, akan membantu industri manufaktur Indonesia memperkokoh posisinya di pasar global dan menciptakan nilai tambah yang lebih besar.

Sementara itu, dari sisi permintaan, pemerintah diharapkan dapat menjaga daya beli masyarakat melalui kebijakan subsidi atau bantuan sosial. Dengan daya beli yang stabil, permintaan terhadap produk manufaktur dapat tetap terjaga, memberikan insentif bagi perusahaan untuk meningkatkan kapasitas produksi.

Lebih jauh, Yusuf menekankan pentingnya sinergi antara pemerintah dan pelaku industri dalam merumuskan kebijakan jangka panjang. Ia percaya bahwa kolaborasi erat antara sektor publik dan swasta dapat menciptakan lingkungan bisnis yang lebih kondusif bagi pertumbuhan.

Dengan langkah yang tepat, Yusuf optimistis bahwa industri manufaktur Indonesia dapat mengatasi berbagai tantangan yang ada, mempertahankan momentum pemulihan, dan terus menjadi motor penggerak perekonomian nasional.

Subscribe to My Newsletter

Subscribe to my weekly newsletter. I don’t send any spam email ever!