Rivalitas Global dalam Astropolitik dan Eksplorasi Luar Angkasa

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Pada 3 Mei 2024, China berhasil meluncurkan Chang’e 6, sebuah misi penting yang bertujuan untuk mengumpulkan sampel batuan dari sisi terjauh bulan, wilayah yang tidak dapat terlihat dari Bumi. Program luar angkasa ini adalah bagian dari strategi jangka panjang China, dengan target ambisius untuk mendaratkan astronot dan membangun pangkalan di permukaan bulan pada tahun 2030.

Namun, langkah besar ini mengundang pertanyaan penting. Apakah program luar angkasa China akan mendukung tujuan damai luar angkasa bagi seluruh umat manusia seperti yang diamanatkan oleh Traktat Luar Angkasa PBB 1967? Ataukah ini akan memperburuk rivalitas penguasaan luar angkasa, terutama karena China dan Rusia tidak tergabung dalam Artemis Accords yang diinisiasi oleh Amerika Serikat pada 2020?

Perspektif Astropolitik

Dalam buku “Astropolitik” (2001), Everett C. Dolman memperkenalkan konsep astropolitik sebagai visi realis dari persaingan antar negara terkait kebijakan antariksa. Negara-negara tidak hanya berkompetisi tetapi juga berupaya mengembangkan dan mempengaruhi tata kelola internasional mengenai eksplorasi manusia di luar angkasa. Dolman membagi wilayah antariksa menjadi empat zona: Terra, Earth Space, Lunar Space, dan Solar Space. Saat ini, kompetisi di Earth Space sudah sangat nyata dengan banyaknya satelit komunikasi dan militer.

Astropolitik berhubungan erat dengan geopolitik, memperluas cakupannya hingga luar angkasa. Geopolitik, yang mengkaji interaksi kekuasaan antar kelompok manusia berdasarkan lokasi geografis, diperkenalkan oleh pemikir seperti Sir Halford Mackinder dengan Teori Heartland dan Alfred Thayer Mahan dengan konsep Sea Power. Kedua teori ini sangat berpengaruh dalam strategi militer banyak negara. Kini, luar angkasa dianggap sebagai heartland baru, di mana negara-negara berlomba mengembangkan teknologi untuk mendaratkan manusia di bulan dan tinggal di sana.

Rivalitas dan Kepentingan Ekonomi di Luar Angkasa

Rivalitas luar angkasa tidak berakhir dengan Perang Dingin. Justru, dorongan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi dan strategis semakin meningkat, terutama dengan ditemukannya kandungan mineral berharga di bulan seperti besi, titanium oksida, dan helium-3 yang penting untuk bahan bakar roket dan fisi nuklir. Gravitasi bulan yang hanya 1/6 dari gravitasi Bumi juga membuat peluncuran lebih hemat energi dari bulan dibandingkan dari Bumi.

Jika menggunakan teori Dolman, Lunar Space adalah wilayah strategis untuk penguasaan luar angkasa. Penguasaan wilayah ini akan mempermudah pengelolaan satelit di Earth Space dan menjadi pangkalan untuk eksplorasi lebih jauh ke Solar Space, membuat koordinasi lebih efisien jika permukaan bulan dikuasai dan berfungsi sebagai pit stop.

Artemis Accords dan Ketegangan Internasional

Namun, ketegangan muncul ketika Amerika Serikat melalui Artemis Accords gagal mengajak China dan Rusia bergabung. Fakta ini menunjukkan bahwa rivalitas tetap ada, tidak hanya di Bumi tetapi juga di luar angkasa, dan kini memasuki dimensi militer. Kebijakan berbagai negara menunjukkan perbedaan persepsi dalam pengelolaan luar angkasa, seringkali mengarah pada dominasi atau hegemoni militer.

Rusia, misalnya, telah melakukan uji coba anti-satelit (ASAT) pada tahun 2021 dengan menghancurkan satelitnya sendiri, menghasilkan ribuan keping sampah antariksa yang berpotensi membahayakan satelit lain dan astronot di Stasiun Luar Angkasa Internasional (ISS). Saat ini, Rusia diyakini sedang mengembangkan dan menempatkan senjata nuklir di luar angkasa.

Di sisi lain, Amerika Serikat membentuk United States Space Force (USSF) pada 2019 sebagai bagian dari restrukturisasi Angkatan Udara. USSF direncanakan menggelar latihan militer pertama di orbit Bumi pada 2025 dengan nama Victus Haze, melibatkan perusahaan seperti Rocket Lab National Security dan True Anomaly.

Kesadaran dan Potensi Antariksa di Indonesia

Indonesia juga menunjukkan perkembangan signifikan dalam bidang antariksa. Banyak lembaga di Indonesia yang khusus mengkaji pemanfaatan antariksa untuk kepentingan nasional. National Air and Space Power Center Indonesia (NASPCI) bekerja sama dengan Strategic ASEAN International Advocacy & Consultancy (SAIAC) dan Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) mengadakan lokakarya Diplomatic Workshop pada 25 April, membahas peran penting satelit dan antariksa.

Ketua NASPCI, Marsma TNI Dr. Penny Radjendra, S.T., M.Sc., M.Sc., menekankan pentingnya membangun kesadaran antariksa bagi masyarakat Indonesia. Selain itu, kolaborasi dengan berbagai pihak perlu dilakukan untuk mengembangkan teknologi dan pemanfaatan antariksa bersama.

Kesadaran antariksa penting untuk membangun kemampuan identifikasi kepentingan nasional Indonesia di antariksa. Hal ini dapat dimulai dengan keselarasan pencapaian Visi Indonesia Digital 2045 dan pengembangan ekonomi digital 2030.

Pendekatan ekonomi sangat penting untuk mengembangkan teknologi luar angkasa yang tidak murah dan mudah. Pelibatan sektor swasta sudah terbukti berhasil di Amerika Serikat dengan keterlibatan SpaceX dan Blue Origin oleh NASA. Tantangan bagi pemerintah baru Indonesia adalah menarik minat investor untuk melirik teknologi ruang angkasa dengan potensi ekonominya. Kehadiran Starlink di Indonesia memberikan ruang khusus untuk mengeksplorasi potensi dan keuntungan ekonomi dari teknologi luar angkasa.

Indonesia perlu segera membentuk kebijakan antariksa yang memuat visi jangka panjang untuk menghadapi ancaman militer dan non-militer di luar angkasa. Seperti China yang sedang mempercepat visinya dengan mewujudkan mitos Dewi Chang’e sebagai Dewi Bulan dalam program luar angkasanya.

Perlu diingat, nenek moyang Indonesia adalah pelaut ulung yang navigasinya mengandalkan antariksa dalam mengarungi samudera hingga benua Afrika sejak abad ke-5 Masehi. Dengan warisan tersebut, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain penting dalam arena astropolitik global.

Subscribe to My Newsletter

Subscribe to my weekly newsletter. I don’t send any spam email ever!