Jakarta — Ketegangan geopolitik antara negara-negara adidaya kembali mengemuka, dan Indonesia muncul sebagai salah satu negara kunci dalam percaturan global. Diapit kepentingan Amerika Serikat dan China, peran Indonesia dalam geopolitik kini makin strategis, baik secara ekonomi maupun militer.
Pertemuan antara Menteri Luar Negeri RI Sugiono dan Menteri Luar Negeri AS Marco Rubio di Washington, serta dialog 2+2 antara Indonesia dan China, memperlihatkan upaya kedua kekuatan global untuk mempererat kerja sama dengan Indonesia.
Sementara AS menekankan kerja sama pertahanan dan kebebasan navigasi di Laut China Selatan, China menyoroti penguatan kerja sama maritim dan kontrol senjata. Kedua langkah tersebut mencerminkan besarnya pengaruh Indonesia di kawasan Indo-Pasifik.
Indonesia juga tengah menjajaki pembelian besar-besaran alat utama sistem persenjataan (alutsista) dari Amerika Serikat, seperti jet tempur F-15EX, untuk memodernisasi sistem pertahanannya. Di sisi lain, hubungan pertahanan dengan Rusia dan kerja sama keamanan dengan Tiongkok juga terus dijajaki.
Namun, pemerintah Indonesia dengan tegas menepis laporan soal kemungkinan pembangunan pangkalan militer asing, seperti yang sempat disebutkan dalam laporan Janes tentang Rusia di Papua. Pernyataan ini mempertegas komitmen Indonesia pada kebijakan luar negeri bebas aktif.
Menurut analis pertahanan Fitriani Bintang Timur, pendekatan “bersahabat dengan semua” yang dijalankan Presiden Prabowo menunjukkan keberhasilan Indonesia dalam menjaga keseimbangan tanpa menjadi alat satu kekuatan besar.
“Indonesia berupaya memainkan kekuatan besar untuk mendapatkan keuntungan strategis — namun harus tetap cermat agar tidak menimbulkan dampak balik,” ujarnya.
Dengan ketegangan regional yang terus meningkat dan aktor-aktor global terus merapat, peran Indonesia dalam geopolitik dunia kini tidak bisa dipandang sebelah mata. Dalam posisi ini, kehati-hatian, konsistensi prinsip, dan diplomasi aktif akan menjadi kunci utama menjaga stabilitas nasional dan regional.